Inu Kencana Terpaksa Berbagi Tempe

Dr. Inu Kencana Syafiie (sumber foto: TangselMedia)

BAGI mantan dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Inu Kencana Syafiie, personel redaksi BPost adalah kawan dekat. Sejak dia bersuara lantang mengungkap sejumlah kebobrokan di lembaga pencetak calon pemimpin itu hingga 'terbuang', hubungannya dengan media terbesar dan tersebar di Kalteng itu, tidak renggang, meski jarang bertemu langsung. 

Jumat (12/8/2011), pria bertubuh kecil itu berkunjung ke redaksi BPost untuk melepas rindu. Bak memasuki rumah sendiri, dia langsung menyapa sejumlah awak redaksi yang dikenalnya.

Tidak ada yang berubah. Suaranya tetap lantang. Selalu menebarkan senyum kepada setiap orang yang ditemui. Dan, yang pasti, semangat mendobrak ketidakadilan terus berkobar di hatinya.

"Ternyata wajah saya masih familiar di sini," ucap pria kelahiran Payakumbuh, Sumbar, 14 Juni 1952 itu.

Inu mengaku memiliki kedekatan emosi dengan koran ini. Empat tahun silam, tepatnya Juli 2007, di saat pemerintah gerah dengan keberanian Inu mengungkap kasus kematian tidak wajar dan penyimpangan yang dilakukan sejumlah praja, BPost mengundangnya datang ke Banjarmasin. Melalui diskusi terbuka yang dijubeli ratusan orang, Inu mengungkapkan keprihatinannya terhadap lembaga pendidikan elite tersebut.

Kekritisan Inu harus dibayar mahal. Dia 'tertendang' dari kampus itu. Bahkan, IPDN pun membawanya ke proses hukum. Imbasnya, penderitaan hidup menjadi kawan sehari-hari Inu beserta istri dan tiga anaknya.

"Tiga tahun saya menderita. Perjalanan hidup yang sangat pahit. Sedih sekali. Untuk makan saja saya harus berbagi tempe dengan istri," ujarnya.

Namun, dengan sekuat tenaga, Inu menutupi nestapa itu. Tujuannya, agar warga Indonesia tidak takut terus mengungkap kebenaran.

"Jangan membuat orang Indonesia ketakutan. Nanti tidak akan ada orang yang berani membongkar ketidakadilan. Itulah niat saya, saya ingin menjadi seperti motivator juga," ujar Inu yang pernah gagal menjadi anggota DPR karena tidak setuju dengan 'kontrak politik' yang diajukan parpol pengusung.

Secercah sinar muncul saat Mahkamah Agung (MA) memenangkan dirinya dalam persoalan hukum dengan IPDN. Lembaga itu wajib membayar gaji Inu sebagai dosen sepanjang 2007-2010.

"Saya pun menyebar lamaran menjadi dosen. Alhamdulillah, saya bisa menjadi dosen terbang di beberapa perguruan tinggi di Kalimantan, Bali, dan Sulawesi. Kalau di Jawa saya menjadi dosen merayap karena naik kereta api," ujarnya.

Tak hanya itu, Inu juga menjadi rektor di Universitas Pandanaran Semarang, Jateng dan dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

"Kalau di Banjarmasin saya mengajar di Magister Ilmu Pemerintahan dan Magister Adminsitrasi Publik (MAP) FISIP Unlam," ucapnya

Kedekatan Inu dengan Kalsel kian bertambah karena putri bungsunya, Periskha Bunda Syafiie diterima di Fakultas Kedokteran Unlam. "Anak saya sengaja pilih Unlam melalui jalur SNMPTN (seleksi nasional masuk perguruan tinggi) supaya murah. Kalau jalur mandiri, saya nggak sanggup membayar," tegasnya.

Perjalanan hidup Inu memang penuh aral, namun tekad untuk berani mengungkap kebenaran membuatnya tetap semangat menapak hidup. "Saya ungkap perjalanan hidup itu dalam buku Bongkar! Pekan depan buku itu terbit," kata Inu sambil tersenyum. (Sabtu, 13 Agustus 2011 01:49 WIB)

https://www.tribunnews.com/regional/2011/08/13/inu-kencana-terpaksa-berbagi-tempe.

Komentar